Lomba Tata Busana |
Kamis, 04 Agustus 2016
Rabu, 20 Juli 2016
MPLS : 'Meramahkan' Suasana
Dari tahun-tahun sebelumnya, Masa Orientasi Siswa (MOS)
telah menuai banyak aksi perploncoan di kalangan siswa SMP dan SMA. Berbagai
macam kegiatan dan atribut yang sudah dipersiapkan oleh para senior dianggap
telah membangunkan sebuah tradisi yang tidak kondusif di sekolah, yaitu
senioritas dan junioritas. Murid baru yang diharuskan melewati masa-masa yang
dianggap ‘mendidik’ ini selama 6 hari, lama kelamaan merasakan takut untuk
melaksanakan proses belajar-mengajar di sekolah. Aturan-aturan senioritas yang
kasat mata seakan-akan ‘mencuci otak’ para siswa baru dan menyebabkan mereka
merasa bahwa setiap siswa baru yang mengikuti orientasi di sekolah tertentu
harus melewati ‘proses’ yang sama. Seperti inilah jalan terjadinya aksi
senioritas yang turun-temurun dari 1 angkatan ke angkatan yang lainnya.
Namun,
sejak adanya perubahan Peraturan Menteri (Permendikbud) Nomor 18 tahun 2016
mengenai MOS yang dikeluarkan pada tanggal 11 Juli 2016 oleh Menteri Pendidikan
Indonesia, Anies Baswedan, yang diubah namanya menjadi MPLS atau Masa
Pengenalan Lingkungan Sekolah, seakan membuka kesempatan bagi para siswa baru
untuk belajar dan berinteraksi dengan nyaman di sekolah. Nama melambangkan
banyak hal, begitu pula sistem di balik MPLS ini. Berdasarkan Pedoman MOS yang
baru, guru-lah yang menjadi panitia pelaksana dari MPLS tanpa sedikitpun campur
tangan dari para siswa senior.
Diharapkan dengan begitu, aksi perploncoan yang sudah menjadi tradisi di
sekolah akan hilang. Adapun beberapa tujuan dari MPLS adalah :
1. Memperkenalkan siswa pad alingkungan sekolah yang baru
mereka masuki
2. Memperkenalkan siswa pada seluruh komponen sekolah
3. Memperkenalkan siswa pada keorganisasian
4. Mengarahkan siswa untuk mengikuti kegiatan yang sesuai
dengan minat dan bakat masing-masing
5. Menanamkan sifat mental, spritiual, budi pekerti yang
baik, tanggung jawab, dan toleransi, serta berbagai nilai positif lain pada
diri siswa sebagai implementasi penanaman konsep iman, ilmu, dan amal.
Berdasarkan tujuan-tujuan
ini, MPLS diharapkan akan menciptakan generasi siswa yang lebih baik dari
sebelumnya. Jika tidak sekarang, kapan lagi?
Sabtu, 16 Juli 2016
Legong Kuntul : 17!
Seperti yang sudah dilaksanakan pemerintah Kota Denpasar setiap tahun, PORSENIJAR kembali memicu semangat para siswa SMP-SMA untuk menjadi yang terbaik. SMA Negeri 3 Denpasar juga bukan perkecualian. Walaupun menyandang juara harapan, namun gerakan gemulai para penarinya berhasil memikat mata dan membekas di hati. Inilah beberapa foto dari 'aksi' Trisma dalam ajang PSR, Tari Legong Kuntul.
oleh : Prabhanika R. |
oleh: Prabhanika R. |
oleh: Prabhanika R. |
oleh: Prabhanika R. |
oleh: Prabhanika R. |
oleh: Prabhanika R. |
Selasa, 12 Juli 2016
Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah: Mengikis ‘Tradisi’ Trisma
“Deg-degan..Takutnya bakal dimarahi
atau diapain nanti sama guru atau senior..”
Begitulah jawaban dari salah satu
siswa baru di SMAN 3 Denpasar, Ni Putu Ayu Laksmi Subadra ketika ditanya mengenai
Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah
(MPLS) yang diadakan pada hari Senin, 11 Juli 2016. “Mungkin bakalan
diajari disiplin yang ketat banget , seperti datang pagi-pagi sekali, bawa
atribut macam-macam, “ begitulah kesan awal siswi lulusan SMPN 3 Denpasar yang
akrab dipanggil Amik begitu mendengar kata MOS Trisma. “Ngebayanginnya sih
serem gitu, tapi pastilah seru ketemu temen baru,” jawab salah satu siswi baru,
I Dewa Ayu Putri Budiantari. Seperti inikah kesan para siswa baru mengenai masa
orientasi di SMAN 3 Denpasar?
Tetapi
kenyataannya, perkiraan siswa-siswa baru mengenai MOS SMAN 3 Denpasar sangat
salah, dan ketakutan tak beralasan dalam benak mereka bisa ditepis jauh-jauh.
Berbeda dari tahun lalu, melalui Peraturan
Menteri (Permendikbud) Nomor 18 tahun 2016 Tentang Pengenalan Lingkungan
Sekolah, istilah MOS (Masa Orientasi Siswa) diubah menjadi MPLS dengan
harapan akan mengubah perspektif masyarakat mengenai MOS yang biasanya diiringi
dengan aksi perploncoan dari para senior. “Sekarang namanya MPLS yaitu Masa
Pengenalan Lingkungan Sekolah, jadi pelaksanaannya oleh guru, bukan kakak
kelas. Tugasnya sama seperti MOS dulu, tapi sekarang lebih banyak menulis,”
jelas salah satu panitia guru, I Wayan Mertana. Terlepas dari berubahnya
istilah serta system, Wayan Mertana menuturkan bahwa dari segi materi masih
sama seperti orientasi siswa yang dilaksanakan dulu. “Untuk pelaksanaannya dari
hari Senin sampai Rabu dilaksanakan di Sanur, hari Kamis kita melaksanakan
kegiatan PSN (Pemberantasan Sarang Nyamuk) di sekolah, pada hari Jumat kita
melaksanakan bakti social, dan terakhir hari Sabtu kita melaksanakan
pendakian,” jelas Wayan Mertana selaku Wakasek Kesiswaan SMAN 3 Denpasar
mengenai agenda MPLS yang dilaksanakan selama 6 hari. Namun, meski sudah
melewati banyak pertimbangan, keefektifan dari MPLS ini masih belum valid.
“Kita belum bisa memastikan karena perlu evaluasi dulu,” tambah Wayan Mertana.
Tidak
hanya dari pihak siswa baru dan guru, namun siswa angkatan 39 yang kini sudah
menjadi kakak kelas juga ikut mendukung perubahan yang dipelopori oleh Menteri
Pendidikan Indonesia, Anies Baswedan mengenai pedoman pelaksanaan MOS. Bahkan
salah satu siswa kelas XI MIPA 1, I Dewa Gede Agung Putra Narayana yang sempat
terpilih menjadi Panmos (Panitia MOS) juga mengutarakan kesetujuannya mengenai
perubahan MOS menjadi MPLS. “Bagiku selama apapun itu, asal mendidik dan ada
hubungannya dengan adaptasi atau apalah yang seharusnya diterima adik kelas,
aku setuju-setuju aja kok,” jelasnya singkat. Bahkan secara pribadi, siswa yang
biasa disapa Narayana ini lebih memilih sistem MPLS karena tidak setuju yang
dengan cara MOS yang dianggap sudah kuno. “MOS yang seperti dulu itu membentuk
murid baru yang punya rasa balas dendam gitu, kesan awal mereka udah dipenuhi
kebencian,” tambahnya dengan mantap. Tidak hanya seorang, Ni Wayan Ristia Dewi
dari kelas XI MIPA 2 juga menyatakan pendapat yang sama ditambah dengan
kekhawatiran yang beralasan. “Menurutku sih yang dulu itu senior junior-nya
keras banget, kalo sekarang dengan MPLS pasti berkurang. Tapi bisa aja dengan
MPLS ini adik kelas kurang berinteraksi sama kakak kelas sehingga lupa sama
sopan santun yang sewajarnya,” jawabnya. (ama)
Minggu, 10 Juli 2016
Tentang Dia, Tentang Cinta
Bertahun-tahun mengamati,mengagumi, dan melihat lebih jauh. Berhari-hari mengenal lebih dalam, mengerti lebih banyak, aku berteman semakin baik dengannya. Ia tempatku berkeluh kesah. Ia pelitaku ketika hati dan pikiranku menjadi buta. Dialah Sang Pelipur Lara. Temanku, sahabatku, dan saudaraku. Dia mimpiku, segalanya. Rasa ini semakin kuat, semakin intens tiap harinya. Menggerogoti jiwa, melelahkan raga. Keinginan untuk memiliki dan dimiliki, untuk menjadi sesuatu yang lebih, yang pasti. Sosok tegap dan penuh wibawa itu memabukkan. Suara tenang itu menjadi pemuas batin. Senyumnya menjadi penawar rindu. Yang aku tahu pasti hanyalah kepalaku berisi wajahnya, bibirku hanya ingin mengucap namanya, hatiku seutuhnya berada di genggamannya. Diselimuti bayangannya, bayangan yang hangat, aman, damai, dimana aku belajar apa itu cinta.
Bagaikan gula yang dipanaskan terlalu lama, itulah kenyataan. Pahit. Harus aku terima, hadapi, dan pelajari. Dimana dia tak melihatku sebagaimana aku melihatnya. Dia tak mengharapkanku sebanyak aku menginginkannya. Dimana hatinya bukanlah milikku. Berkali-kali harus ku pasang senyum mendukung untuk dia, yang mengharapkan orang lain. Tidakkah ia tahu betapa menyakitkannya itu semua? Tidak bisakah kau lihat? Luapan perasaanmu yang ditujukkan kepada orang lain, sedangkan aku disini menunggu, menengadahkahkan tangan, hendak menampung segala tumpahan emosimu. Tapi tidak. Aku tenggelam dalam ombak hatimu yang menggulung-gulung. Ombak yang ditujukan kepada orang lain. Menyakitkan. Menyesakkan. Perlawananku untuk tarikan nafas melemah. Seperti keajaiban. Aku berhenti melawan. Aku mengikuti arusnya, ikut berenang. Mengarungi setiap sudut gelap hatimu. Tapi tetap, perjuanganku tak sanggup mengambil perhatianmu.
Ingin aku berhenti. Berenang ke permukaan, menghirup udara baru nan segar.
Membiarkan perasaan ini habis tergerus ombak.
Ha.
Seseorang boleh berkehendak, tetapi alam yang menentukan.
Sekarang ku sadari
Inikah yang namanya cinta?
Ketika terlalu sedikit, maka ia menjadi candu.
Terlalu banyak, maka ia menjadi racun.
Bila begitu, ajalku sudah tentu.
Bagaikan gula yang dipanaskan terlalu lama, itulah kenyataan. Pahit. Harus aku terima, hadapi, dan pelajari. Dimana dia tak melihatku sebagaimana aku melihatnya. Dia tak mengharapkanku sebanyak aku menginginkannya. Dimana hatinya bukanlah milikku. Berkali-kali harus ku pasang senyum mendukung untuk dia, yang mengharapkan orang lain. Tidakkah ia tahu betapa menyakitkannya itu semua? Tidak bisakah kau lihat? Luapan perasaanmu yang ditujukkan kepada orang lain, sedangkan aku disini menunggu, menengadahkahkan tangan, hendak menampung segala tumpahan emosimu. Tapi tidak. Aku tenggelam dalam ombak hatimu yang menggulung-gulung. Ombak yang ditujukan kepada orang lain. Menyakitkan. Menyesakkan. Perlawananku untuk tarikan nafas melemah. Seperti keajaiban. Aku berhenti melawan. Aku mengikuti arusnya, ikut berenang. Mengarungi setiap sudut gelap hatimu. Tapi tetap, perjuanganku tak sanggup mengambil perhatianmu.
Ingin aku berhenti. Berenang ke permukaan, menghirup udara baru nan segar.
Membiarkan perasaan ini habis tergerus ombak.
Ha.
Seseorang boleh berkehendak, tetapi alam yang menentukan.
Sekarang ku sadari
Inikah yang namanya cinta?
Ketika terlalu sedikit, maka ia menjadi candu.
Terlalu banyak, maka ia menjadi racun.
Bila begitu, ajalku sudah tentu.
Jumat, 08 Juli 2016
Pergantian Kurikulum : Bagai Pisau Berbilah Ganda
Proses belajar adalah
salah satu indikator apakah hubungan mengajar-belajar antara guru dan anak
didik di sekolah berlangsung dengan lancar atau tidak. Salah satu faktor
pendukung dari hubungan kondusif antara guru-siswa ini, tak lain dan tak bukan,
adalah program pendidikan perintah atau biasa dengan disebut Kurikulum. Seiring
dengan berjalannya waktu, pemerintah juga tentu ingin pendidikan di Indonesia
makin berkembang. Maka dari itu, salah satu cara dari mewujudkan visi tersebut
adalah pergantian Kurikulum.
Pertama-tama kita harus mengetahui apa itu Kurikulum dan
tujuan tiap-tiap Kurikulum yangs udah dibentuk oleh pemerintah. Kurikulum
adalah perangkat mata pelajaran dan program pendidikan yang diberikan oleh
suatu lembaga penyelenggara pendidikan
yang berisi rancangan pelajaran yang akan diberikan kepada peserta pelajaran
dalam satu periode jenjang pendidikan. (sumber : Wikipedia.com). Penyusunan
perangkat mata pelajaran ini disesuaikan dengan keadaan dan kemampuan setiap
jenjang pendidikan dalam penyelenggaraan pendidikan tersebut serta kebutuhan
lapangan kerja. Secara umum, tujuan utama dari Kurikulum adalah mengarahkan
pendidikan menuju arah dan tujuan yang dimaksudkan dalam kegiatan pembelajaran
secara menyeluruh. Demi tercapainya tujuan tersebut, maka Kurikulum disusun
atas beberapa komponen. Banyak tokoh pendidikan
yang mengemukakan pendapatnya tentang komponen Kurikulum. Namun secara
umum, komponen Kurikulum terdiri dari 4 bagian, yakni :
1.
Tujuan
2.
Isi dan struktur Kurikulum
3.
Strategi pelaksanaan PBM (Proses Belajar
Mengajar), dan
4.
Evaluasi.
Setelah bertahun-tahun,
perjalanan pendidikan di Indonesia dapat diibaratkan seperti anak kecil yang
baru belajar berjalan. Awalnya terseok-seok, lama kelamaan setelah belajar dari
‘jatuh’, jalannya pun semakin mantap. Kurikulum pendidikan di Indonesia sudah
diubah sebanyak 5 kali. Adapun Kurikulum-Kurikulum yang sempat dijalankan oleh
pemerintah adalah Kurikulum
1968,
Kurikulum
1975,
kurikulum
1984,
kurikulum 1994,
kurikulum 2004, Kurikulum 2006, dan yang
sekarang masih berjalan adalah kurikulum 2013.
ILUSTRASI-Ketika kurikulum, guru, dan siswa berhasil berinteraksi, maka semuanya sama-sama untung |
Apakah Kurikulum
berpengaruh banyak tentang program mengajar guru dan kelangsungan belajar di
kelas? Bagaimanakah bentuk-bentuk pengaruhnya? Tentu saja jawaban dari
pertanyaan-pertanyaan inilah yang menjenuhkan siswa. Jika ditilik dari sudut
pandang siswa dan sisi psikologisnya, siswa yang sudah beradaptasi dan terbiasa
dengan 1 Kurikulum, atau sederhananya, dengan 1 proses diajar-belajar tertentu,
mereka akan kesusahan dalam beradaptasi dengan lingkungan belajar yang seketika
dirombak ulang. Inilah yang mendasari maraknya protes dari kalangan siswa,
entah secara langsung ke pihak sekolah atau terang-terangan di sosial media,
ketika digantinya Kurikulum KTSP (2006) dengan Kurikulum 2013. Pasalnya, ada
tahun ajaran 2013/2014, tepatnya sekitar pertengahan tahun 2013, Kurikulum 2013
diimpelementasikan secara terbatas pada sekolah perintis, yakni pada kelas I
dan IV untuk tingkat Sekolah Dasar, kelas VII untuk SMP,
dan kelas X untuk jenjang SMA/SMK, sedangkan pada tahun 2014,
Kurikulum 2013 sudah diterapkan di Kelas I, II, IV, dan V sedangkan untuk SMP
Kelas VII dan VIII dan SMA Kelas X dan XI. Jumlah sekolah yang menjadi sekolah
perintis adalah sebanyak 6.326 sekolah tersebar di seluruh provinsi di
Indonesia. Hal ini disebabkan Kurikulum 2013 diakui pemerintah sebagai
kurikulum yang masih berada dalam ‘masa percobaan’. Tidak diragukan lagi,
sekolah-sekolah perintis yang diterapkan kurikulum 2013 kelabakan karena 6
tahun terbiasa dengan kurikul KTSP. Inilah salah satu bentuk pengaruh dari
kurikulum dan pergantiannya. Tiba-tiba saja mereka ‘dipaksa’ untuk mengikuti
sistem dan menjadi lebih aktif daripada guru serta dijejali dengan
pendidikan-pendidikan karakter. Ketika hasillnya tidak sesuai yang diharapkan,
kurikulum 2013 tiba-tiba dinyatakan hanya dalam masa percobaan dan sekolah
disuruh kembali ke kurikulum 2006. Pergantian kurikulum yang tidak menentu
menyebabkan siswa kehilangan pegangannya akan proses belajar yang sesuai dengan
mereka. Bisa dibilang pergantian kurikulum dari pemerintah ini menjadi pisau
berbilah 2, baik untuk siswa maupun guru.
Bagaimana dengan guru? Tidak hanya siswa yang kewalahan
dalam mengikuti kelabilan departemen pendidikan, guru sendiri yang berwajib
dalam menjalankan kurikulum juga uring-uringan. Guru yang bertugas menyampaikan
mata pelajaran juga perlu beradaptasi dalam kurikulum baru. Logikanya adalah
bagaimana siswa paham dengan pelajarannya jika guru tidak mengerti
kurikulumnya. Belum lagi setiap tahun ajaran, format penulisan rapot, sistem,
serta aspek penilaiannya juga harus disesuaikan. Inilah yang menyebabkan kinerja
guru semakin terhambat, dan kelulusan siswalah yang menjadi korbannya. Siswa
yang angkatannya menjadi ‘bahan percobaan’ dalam pergantian kurikulum yang
labil melalui banyak perubahan format evaluasi yang akan menyulitkan mereka
dalam mencari jenjang pendidikan selanjutnya. Guru akan kewalahan menyesuaikan
format dan sistem rapot yang berbeda dalam periode tahun pelajaran yang
berbeda-beda. Tentunya proses ini juga memperumit jalannya pendaftaran sekolah
menengah maupun ke perguruan tinggi.
Evaluasi pendidikan ini dapat disimpulkan bahwa
pergantian kurikulum memiliki pengaruh yang besar terhadap siswa, guru, dan
proses belajar-mengajar di kelas. Pergantian kurikulum yang tidak menentu
menyebabkan pihak sekolah harus melewati tahapan-tahapan perubahan yang tidak
menentu juga. Bila dibiarkan seperti ini, maka kapan pendidikan di Indonesia
bisa mencapai kata stabil?
Langganan:
Postingan (Atom)