Rabu, 20 Juli 2016

MPLS : 'Meramahkan' Suasana

Dari tahun-tahun sebelumnya, Masa Orientasi Siswa (MOS) telah menuai banyak aksi perploncoan di kalangan siswa SMP dan SMA. Berbagai macam kegiatan dan atribut yang sudah dipersiapkan oleh para senior dianggap telah membangunkan sebuah tradisi yang tidak kondusif di sekolah, yaitu senioritas dan junioritas. Murid baru yang diharuskan melewati masa-masa yang dianggap ‘mendidik’ ini selama 6 hari, lama kelamaan merasakan takut untuk melaksanakan proses belajar-mengajar di sekolah. Aturan-aturan senioritas yang kasat mata seakan-akan ‘mencuci otak’ para siswa baru dan menyebabkan mereka merasa bahwa setiap siswa baru yang mengikuti orientasi di sekolah tertentu harus melewati ‘proses’ yang sama. Seperti inilah jalan terjadinya aksi senioritas yang turun-temurun dari 1 angkatan ke angkatan yang lainnya.
 Namun, sejak adanya perubahan Peraturan Menteri (Permendikbud) Nomor 18 tahun 2016 mengenai MOS yang dikeluarkan pada tanggal 11 Juli 2016 oleh Menteri Pendidikan Indonesia, Anies Baswedan, yang diubah namanya menjadi MPLS atau Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah, seakan membuka kesempatan bagi para siswa baru untuk belajar dan berinteraksi dengan nyaman di sekolah. Nama melambangkan banyak hal, begitu pula sistem di balik MPLS ini. Berdasarkan Pedoman MOS yang baru, guru-lah yang menjadi panitia pelaksana dari MPLS tanpa sedikitpun campur tangan dari para siswa senior.  Diharapkan dengan begitu, aksi perploncoan yang sudah menjadi tradisi di sekolah akan hilang. Adapun beberapa tujuan dari MPLS adalah :
1.    Memperkenalkan siswa pad alingkungan sekolah yang baru mereka masuki
2.    Memperkenalkan siswa pada seluruh komponen sekolah
3.    Memperkenalkan siswa pada keorganisasian
4.    Mengarahkan siswa untuk mengikuti kegiatan yang sesuai dengan minat dan bakat masing-masing
5.    Menanamkan sifat mental, spritiual, budi pekerti yang baik, tanggung jawab, dan toleransi, serta berbagai nilai positif lain pada diri siswa sebagai implementasi penanaman konsep iman, ilmu, dan amal.
Berdasarkan tujuan-tujuan ini, MPLS diharapkan akan menciptakan generasi siswa yang lebih baik dari sebelumnya. Jika tidak sekarang, kapan lagi?

Sabtu, 16 Juli 2016

Legong Kuntul : 17!

Seperti yang sudah dilaksanakan pemerintah Kota Denpasar setiap tahun, PORSENIJAR kembali memicu semangat para siswa SMP-SMA untuk menjadi yang terbaik. SMA Negeri 3 Denpasar juga bukan perkecualian. Walaupun menyandang juara harapan, namun gerakan gemulai para penarinya berhasil memikat mata dan membekas di hati.  Inilah beberapa foto dari 'aksi' Trisma dalam ajang PSR, Tari Legong Kuntul.
oleh : Prabhanika R.

oleh: Prabhanika R.

oleh: Prabhanika R.

oleh: Prabhanika R.

oleh: Prabhanika R.

oleh: Prabhanika R.

Selasa, 12 Juli 2016

Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah: Mengikis ‘Tradisi’ Trisma



“Deg-degan..Takutnya bakal dimarahi atau diapain nanti sama guru atau senior..”
            Begitulah jawaban dari salah satu siswa baru di SMAN 3 Denpasar, Ni Putu Ayu Laksmi Subadra ketika ditanya mengenai Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah  (MPLS) yang diadakan pada hari Senin, 11 Juli 2016. “Mungkin bakalan diajari disiplin yang ketat banget , seperti datang pagi-pagi sekali, bawa atribut macam-macam, “ begitulah kesan awal siswi lulusan SMPN 3 Denpasar yang akrab dipanggil Amik begitu mendengar kata MOS Trisma. “Ngebayanginnya sih serem gitu, tapi pastilah seru ketemu temen baru,” jawab salah satu siswi baru, I Dewa Ayu Putri Budiantari. Seperti inikah kesan para siswa baru mengenai masa orientasi di SMAN 3 Denpasar?
Tetapi kenyataannya, perkiraan siswa-siswa baru mengenai MOS SMAN 3 Denpasar sangat salah, dan ketakutan tak beralasan dalam benak mereka bisa ditepis jauh-jauh. Berbeda dari tahun lalu, melalui Peraturan Menteri (Permendikbud) Nomor 18 tahun 2016 Tentang Pengenalan Lingkungan Sekolah, istilah MOS (Masa Orientasi Siswa) diubah menjadi MPLS dengan harapan akan mengubah perspektif masyarakat mengenai MOS yang biasanya diiringi dengan aksi perploncoan dari para senior. “Sekarang namanya MPLS yaitu Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah, jadi pelaksanaannya oleh guru, bukan kakak kelas. Tugasnya sama seperti MOS dulu, tapi sekarang lebih banyak menulis,” jelas salah satu panitia guru, I Wayan Mertana. Terlepas dari berubahnya istilah serta system, Wayan Mertana menuturkan bahwa dari segi materi masih sama seperti orientasi siswa yang dilaksanakan dulu. “Untuk pelaksanaannya dari hari Senin sampai Rabu dilaksanakan di Sanur, hari Kamis kita melaksanakan kegiatan PSN (Pemberantasan Sarang Nyamuk) di sekolah, pada hari Jumat kita melaksanakan bakti social, dan terakhir hari Sabtu kita melaksanakan pendakian,” jelas Wayan Mertana selaku Wakasek Kesiswaan SMAN 3 Denpasar mengenai agenda MPLS yang dilaksanakan selama 6 hari. Namun, meski sudah melewati banyak pertimbangan, keefektifan dari MPLS ini masih belum valid. “Kita belum bisa memastikan karena perlu evaluasi dulu,” tambah Wayan Mertana.
Tidak hanya dari pihak siswa baru dan guru, namun siswa angkatan 39 yang kini sudah menjadi kakak kelas juga ikut mendukung perubahan yang dipelopori oleh Menteri Pendidikan Indonesia, Anies Baswedan mengenai pedoman pelaksanaan MOS. Bahkan salah satu siswa kelas XI MIPA 1, I Dewa Gede Agung Putra Narayana yang sempat terpilih menjadi Panmos (Panitia MOS) juga mengutarakan kesetujuannya mengenai perubahan MOS menjadi MPLS. “Bagiku selama apapun itu, asal mendidik dan ada hubungannya dengan adaptasi atau apalah yang seharusnya diterima adik kelas, aku setuju-setuju aja kok,” jelasnya singkat. Bahkan secara pribadi, siswa yang biasa disapa Narayana ini lebih memilih sistem MPLS karena tidak setuju yang dengan cara MOS yang dianggap sudah kuno. “MOS yang seperti dulu itu membentuk murid baru yang punya rasa balas dendam gitu, kesan awal mereka udah dipenuhi kebencian,” tambahnya dengan mantap. Tidak hanya seorang, Ni Wayan Ristia Dewi dari kelas XI MIPA 2 juga menyatakan pendapat yang sama ditambah dengan kekhawatiran yang beralasan. “Menurutku sih yang dulu itu senior junior-nya keras banget, kalo sekarang dengan MPLS pasti berkurang. Tapi bisa aja dengan MPLS ini adik kelas kurang berinteraksi sama kakak kelas sehingga lupa sama sopan santun yang sewajarnya,” jawabnya. (ama)

Minggu, 10 Juli 2016

Tentang Dia, Tentang Cinta

Bertahun-tahun mengamati,mengagumi, dan melihat lebih jauh. Berhari-hari mengenal lebih dalam, mengerti lebih banyak, aku berteman semakin baik dengannya. Ia tempatku berkeluh kesah. Ia pelitaku ketika hati dan pikiranku menjadi buta. Dialah Sang Pelipur Lara. Temanku, sahabatku, dan saudaraku. Dia mimpiku, segalanya. Rasa ini semakin kuat, semakin intens tiap harinya. Menggerogoti jiwa, melelahkan raga. Keinginan untuk memiliki dan dimiliki, untuk menjadi sesuatu yang lebih, yang pasti. Sosok tegap dan penuh wibawa itu memabukkan. Suara tenang itu menjadi pemuas batin. Senyumnya menjadi penawar rindu. Yang aku tahu pasti hanyalah kepalaku berisi wajahnya, bibirku hanya ingin mengucap namanya, hatiku seutuhnya berada di genggamannya. Diselimuti bayangannya, bayangan yang hangat, aman, damai, dimana aku belajar apa itu cinta.

Bagaikan gula yang dipanaskan terlalu lama, itulah kenyataan. Pahit. Harus aku terima, hadapi, dan pelajari. Dimana dia tak melihatku sebagaimana aku melihatnya. Dia tak mengharapkanku sebanyak aku menginginkannya. Dimana hatinya bukanlah milikku. Berkali-kali harus ku pasang senyum mendukung untuk dia, yang mengharapkan orang lain. Tidakkah ia tahu betapa menyakitkannya itu semua? Tidak bisakah kau lihat? Luapan perasaanmu yang ditujukkan kepada orang lain, sedangkan aku disini menunggu, menengadahkahkan tangan, hendak menampung segala tumpahan emosimu. Tapi tidak. Aku tenggelam dalam ombak hatimu yang menggulung-gulung. Ombak yang ditujukan kepada orang lain. Menyakitkan. Menyesakkan. Perlawananku untuk tarikan nafas melemah. Seperti keajaiban. Aku berhenti melawan. Aku mengikuti arusnya, ikut berenang. Mengarungi setiap sudut gelap hatimu. Tapi tetap, perjuanganku tak sanggup mengambil perhatianmu.

 Ingin aku berhenti. Berenang ke permukaan, menghirup udara baru nan segar.
 Membiarkan perasaan ini habis tergerus ombak.
 Ha.
 Seseorang boleh berkehendak, tetapi alam yang menentukan.
 Sekarang ku sadari
 Inikah yang namanya cinta?
 Ketika terlalu sedikit, maka ia menjadi candu.
 Terlalu banyak, maka ia menjadi racun.
 Bila begitu, ajalku sudah tentu.

Jumat, 08 Juli 2016

Pergantian Kurikulum : Bagai Pisau Berbilah Ganda



Proses belajar adalah salah satu indikator apakah hubungan mengajar-belajar antara guru dan anak didik di sekolah berlangsung dengan lancar atau tidak. Salah satu faktor pendukung dari hubungan kondusif antara guru-siswa ini, tak lain dan tak bukan, adalah program pendidikan perintah atau biasa dengan disebut Kurikulum. Seiring dengan berjalannya waktu, pemerintah juga tentu ingin pendidikan di Indonesia makin berkembang. Maka dari itu, salah satu cara dari mewujudkan visi tersebut adalah pergantian Kurikulum.
 Pertama-tama kita harus mengetahui apa itu Kurikulum dan tujuan tiap-tiap Kurikulum yangs udah dibentuk oleh pemerintah. Kurikulum adalah perangkat mata pelajaran dan program pendidikan yang diberikan oleh suatu lembaga penyelenggara pendidikan yang berisi rancangan pelajaran yang akan diberikan kepada peserta pelajaran dalam satu periode jenjang pendidikan. (sumber : Wikipedia.com). Penyusunan perangkat mata pelajaran ini disesuaikan dengan keadaan dan kemampuan setiap jenjang pendidikan dalam penyelenggaraan pendidikan tersebut serta kebutuhan lapangan kerja. Secara umum, tujuan utama dari Kurikulum adalah mengarahkan pendidikan menuju arah dan tujuan yang dimaksudkan dalam kegiatan pembelajaran secara menyeluruh. Demi tercapainya tujuan tersebut, maka Kurikulum disusun atas beberapa komponen. Banyak tokoh pendidikan  yang mengemukakan pendapatnya tentang komponen Kurikulum. Namun secara umum, komponen Kurikulum terdiri dari 4 bagian, yakni :
1.      Tujuan
2.      Isi dan struktur Kurikulum
3.       Strategi pelaksanaan PBM (Proses Belajar Mengajar), dan
4.       Evaluasi.
Setelah bertahun-tahun, perjalanan pendidikan di Indonesia dapat diibaratkan seperti anak kecil yang baru belajar berjalan. Awalnya terseok-seok, lama kelamaan setelah belajar dari ‘jatuh’, jalannya pun semakin mantap. Kurikulum pendidikan di Indonesia sudah diubah sebanyak 5 kali. Adapun Kurikulum-Kurikulum yang sempat dijalankan oleh pemerintah adalah Kurikulum 1968, Kurikulum 1975, kurikulum 1984, kurikulum 1994, kurikulum 2004, Kurikulum 2006, dan yang sekarang masih berjalan adalah kurikulum 2013.
ILUSTRASI-Ketika kurikulum, guru, dan siswa berhasil berinteraksi, maka semuanya sama-sama untung
            Apakah Kurikulum berpengaruh banyak tentang program mengajar guru dan kelangsungan belajar di kelas? Bagaimanakah bentuk-bentuk pengaruhnya? Tentu saja jawaban dari pertanyaan-pertanyaan inilah yang menjenuhkan siswa. Jika ditilik dari sudut pandang siswa dan sisi psikologisnya, siswa yang sudah beradaptasi dan terbiasa dengan 1 Kurikulum, atau sederhananya, dengan 1 proses diajar-belajar tertentu, mereka akan kesusahan dalam beradaptasi dengan lingkungan belajar yang seketika dirombak ulang. Inilah yang mendasari maraknya protes dari kalangan siswa, entah secara langsung ke pihak sekolah atau terang-terangan di sosial media, ketika digantinya Kurikulum KTSP (2006) dengan Kurikulum 2013. Pasalnya, ada tahun ajaran 2013/2014, tepatnya sekitar pertengahan tahun 2013, Kurikulum 2013 diimpelementasikan secara terbatas pada sekolah perintis, yakni pada kelas I dan IV untuk tingkat Sekolah Dasar, kelas VII untuk SMP, dan kelas X untuk jenjang SMA/SMK, sedangkan pada tahun 2014, Kurikulum 2013 sudah diterapkan di Kelas I, II, IV, dan V sedangkan untuk SMP Kelas VII dan VIII dan SMA Kelas X dan XI. Jumlah sekolah yang menjadi sekolah perintis adalah sebanyak 6.326 sekolah tersebar di seluruh provinsi di Indonesia. Hal ini disebabkan Kurikulum 2013 diakui pemerintah sebagai kurikulum yang masih berada dalam ‘masa percobaan’. Tidak diragukan lagi, sekolah-sekolah perintis yang diterapkan kurikulum 2013 kelabakan karena 6 tahun terbiasa dengan kurikul KTSP. Inilah salah satu bentuk pengaruh dari kurikulum dan pergantiannya. Tiba-tiba saja mereka ‘dipaksa’ untuk mengikuti sistem dan menjadi lebih aktif daripada guru serta dijejali dengan pendidikan-pendidikan karakter. Ketika hasillnya tidak sesuai yang diharapkan, kurikulum 2013 tiba-tiba dinyatakan hanya dalam masa percobaan dan sekolah disuruh kembali ke kurikulum 2006. Pergantian kurikulum yang tidak menentu menyebabkan siswa kehilangan pegangannya akan proses belajar yang sesuai dengan mereka. Bisa dibilang pergantian kurikulum dari pemerintah ini menjadi pisau berbilah 2, baik untuk siswa maupun guru.
Bagaimana dengan guru? Tidak hanya siswa yang kewalahan dalam mengikuti kelabilan departemen pendidikan, guru sendiri yang berwajib dalam menjalankan kurikulum juga uring-uringan. Guru yang bertugas menyampaikan mata pelajaran juga perlu beradaptasi dalam kurikulum baru. Logikanya adalah bagaimana siswa paham dengan pelajarannya jika guru tidak mengerti kurikulumnya. Belum lagi setiap tahun ajaran, format penulisan rapot, sistem, serta aspek penilaiannya juga harus disesuaikan. Inilah yang menyebabkan kinerja guru semakin terhambat, dan kelulusan siswalah yang menjadi korbannya. Siswa yang angkatannya menjadi ‘bahan percobaan’ dalam pergantian kurikulum yang labil melalui banyak perubahan format evaluasi yang akan menyulitkan mereka dalam mencari jenjang pendidikan selanjutnya. Guru akan kewalahan menyesuaikan format dan sistem rapot yang berbeda dalam periode tahun pelajaran yang berbeda-beda. Tentunya proses ini juga memperumit jalannya pendaftaran sekolah menengah maupun ke perguruan tinggi.
Evaluasi pendidikan ini dapat disimpulkan bahwa pergantian kurikulum memiliki pengaruh yang besar terhadap siswa, guru, dan proses belajar-mengajar di kelas. Pergantian kurikulum yang tidak menentu menyebabkan pihak sekolah harus melewati tahapan-tahapan perubahan yang tidak menentu juga. Bila dibiarkan seperti ini, maka kapan pendidikan di Indonesia bisa mencapai kata stabil?