Proses belajar adalah
salah satu indikator apakah hubungan mengajar-belajar antara guru dan anak
didik di sekolah berlangsung dengan lancar atau tidak. Salah satu faktor
pendukung dari hubungan kondusif antara guru-siswa ini, tak lain dan tak bukan,
adalah program pendidikan perintah atau biasa dengan disebut Kurikulum. Seiring
dengan berjalannya waktu, pemerintah juga tentu ingin pendidikan di Indonesia
makin berkembang. Maka dari itu, salah satu cara dari mewujudkan visi tersebut
adalah pergantian Kurikulum.
Pertama-tama kita harus mengetahui apa itu Kurikulum dan
tujuan tiap-tiap Kurikulum yangs udah dibentuk oleh pemerintah. Kurikulum
adalah perangkat mata pelajaran dan program pendidikan yang diberikan oleh
suatu lembaga penyelenggara pendidikan
yang berisi rancangan pelajaran yang akan diberikan kepada peserta pelajaran
dalam satu periode jenjang pendidikan. (sumber : Wikipedia.com). Penyusunan
perangkat mata pelajaran ini disesuaikan dengan keadaan dan kemampuan setiap
jenjang pendidikan dalam penyelenggaraan pendidikan tersebut serta kebutuhan
lapangan kerja. Secara umum, tujuan utama dari Kurikulum adalah mengarahkan
pendidikan menuju arah dan tujuan yang dimaksudkan dalam kegiatan pembelajaran
secara menyeluruh. Demi tercapainya tujuan tersebut, maka Kurikulum disusun
atas beberapa komponen. Banyak tokoh pendidikan
yang mengemukakan pendapatnya tentang komponen Kurikulum. Namun secara
umum, komponen Kurikulum terdiri dari 4 bagian, yakni :
1.
Tujuan
2.
Isi dan struktur Kurikulum
3.
Strategi pelaksanaan PBM (Proses Belajar
Mengajar), dan
4.
Evaluasi.
Setelah bertahun-tahun,
perjalanan pendidikan di Indonesia dapat diibaratkan seperti anak kecil yang
baru belajar berjalan. Awalnya terseok-seok, lama kelamaan setelah belajar dari
‘jatuh’, jalannya pun semakin mantap. Kurikulum pendidikan di Indonesia sudah
diubah sebanyak 5 kali. Adapun Kurikulum-Kurikulum yang sempat dijalankan oleh
pemerintah adalah Kurikulum
1968,
Kurikulum
1975,
kurikulum
1984,
kurikulum 1994,
kurikulum 2004, Kurikulum 2006, dan yang
sekarang masih berjalan adalah kurikulum 2013.
ILUSTRASI-Ketika kurikulum, guru, dan siswa berhasil berinteraksi, maka semuanya sama-sama untung |
Apakah Kurikulum
berpengaruh banyak tentang program mengajar guru dan kelangsungan belajar di
kelas? Bagaimanakah bentuk-bentuk pengaruhnya? Tentu saja jawaban dari
pertanyaan-pertanyaan inilah yang menjenuhkan siswa. Jika ditilik dari sudut
pandang siswa dan sisi psikologisnya, siswa yang sudah beradaptasi dan terbiasa
dengan 1 Kurikulum, atau sederhananya, dengan 1 proses diajar-belajar tertentu,
mereka akan kesusahan dalam beradaptasi dengan lingkungan belajar yang seketika
dirombak ulang. Inilah yang mendasari maraknya protes dari kalangan siswa,
entah secara langsung ke pihak sekolah atau terang-terangan di sosial media,
ketika digantinya Kurikulum KTSP (2006) dengan Kurikulum 2013. Pasalnya, ada
tahun ajaran 2013/2014, tepatnya sekitar pertengahan tahun 2013, Kurikulum 2013
diimpelementasikan secara terbatas pada sekolah perintis, yakni pada kelas I
dan IV untuk tingkat Sekolah Dasar, kelas VII untuk SMP,
dan kelas X untuk jenjang SMA/SMK, sedangkan pada tahun 2014,
Kurikulum 2013 sudah diterapkan di Kelas I, II, IV, dan V sedangkan untuk SMP
Kelas VII dan VIII dan SMA Kelas X dan XI. Jumlah sekolah yang menjadi sekolah
perintis adalah sebanyak 6.326 sekolah tersebar di seluruh provinsi di
Indonesia. Hal ini disebabkan Kurikulum 2013 diakui pemerintah sebagai
kurikulum yang masih berada dalam ‘masa percobaan’. Tidak diragukan lagi,
sekolah-sekolah perintis yang diterapkan kurikulum 2013 kelabakan karena 6
tahun terbiasa dengan kurikul KTSP. Inilah salah satu bentuk pengaruh dari
kurikulum dan pergantiannya. Tiba-tiba saja mereka ‘dipaksa’ untuk mengikuti
sistem dan menjadi lebih aktif daripada guru serta dijejali dengan
pendidikan-pendidikan karakter. Ketika hasillnya tidak sesuai yang diharapkan,
kurikulum 2013 tiba-tiba dinyatakan hanya dalam masa percobaan dan sekolah
disuruh kembali ke kurikulum 2006. Pergantian kurikulum yang tidak menentu
menyebabkan siswa kehilangan pegangannya akan proses belajar yang sesuai dengan
mereka. Bisa dibilang pergantian kurikulum dari pemerintah ini menjadi pisau
berbilah 2, baik untuk siswa maupun guru.
Bagaimana dengan guru? Tidak hanya siswa yang kewalahan
dalam mengikuti kelabilan departemen pendidikan, guru sendiri yang berwajib
dalam menjalankan kurikulum juga uring-uringan. Guru yang bertugas menyampaikan
mata pelajaran juga perlu beradaptasi dalam kurikulum baru. Logikanya adalah
bagaimana siswa paham dengan pelajarannya jika guru tidak mengerti
kurikulumnya. Belum lagi setiap tahun ajaran, format penulisan rapot, sistem,
serta aspek penilaiannya juga harus disesuaikan. Inilah yang menyebabkan kinerja
guru semakin terhambat, dan kelulusan siswalah yang menjadi korbannya. Siswa
yang angkatannya menjadi ‘bahan percobaan’ dalam pergantian kurikulum yang
labil melalui banyak perubahan format evaluasi yang akan menyulitkan mereka
dalam mencari jenjang pendidikan selanjutnya. Guru akan kewalahan menyesuaikan
format dan sistem rapot yang berbeda dalam periode tahun pelajaran yang
berbeda-beda. Tentunya proses ini juga memperumit jalannya pendaftaran sekolah
menengah maupun ke perguruan tinggi.
Evaluasi pendidikan ini dapat disimpulkan bahwa
pergantian kurikulum memiliki pengaruh yang besar terhadap siswa, guru, dan
proses belajar-mengajar di kelas. Pergantian kurikulum yang tidak menentu
menyebabkan pihak sekolah harus melewati tahapan-tahapan perubahan yang tidak
menentu juga. Bila dibiarkan seperti ini, maka kapan pendidikan di Indonesia
bisa mencapai kata stabil?
Mantaapppss
BalasHapusGood...
BalasHapuskerenn!
BalasHapuskerenn!
BalasHapusWah boleh juga nih
BalasHapusNicee
BalasHapusSetuju banget sama artikelnya!
BalasHapus