Jumat, 08 Juli 2016

Pergantian Kurikulum : Bagai Pisau Berbilah Ganda



Proses belajar adalah salah satu indikator apakah hubungan mengajar-belajar antara guru dan anak didik di sekolah berlangsung dengan lancar atau tidak. Salah satu faktor pendukung dari hubungan kondusif antara guru-siswa ini, tak lain dan tak bukan, adalah program pendidikan perintah atau biasa dengan disebut Kurikulum. Seiring dengan berjalannya waktu, pemerintah juga tentu ingin pendidikan di Indonesia makin berkembang. Maka dari itu, salah satu cara dari mewujudkan visi tersebut adalah pergantian Kurikulum.
 Pertama-tama kita harus mengetahui apa itu Kurikulum dan tujuan tiap-tiap Kurikulum yangs udah dibentuk oleh pemerintah. Kurikulum adalah perangkat mata pelajaran dan program pendidikan yang diberikan oleh suatu lembaga penyelenggara pendidikan yang berisi rancangan pelajaran yang akan diberikan kepada peserta pelajaran dalam satu periode jenjang pendidikan. (sumber : Wikipedia.com). Penyusunan perangkat mata pelajaran ini disesuaikan dengan keadaan dan kemampuan setiap jenjang pendidikan dalam penyelenggaraan pendidikan tersebut serta kebutuhan lapangan kerja. Secara umum, tujuan utama dari Kurikulum adalah mengarahkan pendidikan menuju arah dan tujuan yang dimaksudkan dalam kegiatan pembelajaran secara menyeluruh. Demi tercapainya tujuan tersebut, maka Kurikulum disusun atas beberapa komponen. Banyak tokoh pendidikan  yang mengemukakan pendapatnya tentang komponen Kurikulum. Namun secara umum, komponen Kurikulum terdiri dari 4 bagian, yakni :
1.      Tujuan
2.      Isi dan struktur Kurikulum
3.       Strategi pelaksanaan PBM (Proses Belajar Mengajar), dan
4.       Evaluasi.
Setelah bertahun-tahun, perjalanan pendidikan di Indonesia dapat diibaratkan seperti anak kecil yang baru belajar berjalan. Awalnya terseok-seok, lama kelamaan setelah belajar dari ‘jatuh’, jalannya pun semakin mantap. Kurikulum pendidikan di Indonesia sudah diubah sebanyak 5 kali. Adapun Kurikulum-Kurikulum yang sempat dijalankan oleh pemerintah adalah Kurikulum 1968, Kurikulum 1975, kurikulum 1984, kurikulum 1994, kurikulum 2004, Kurikulum 2006, dan yang sekarang masih berjalan adalah kurikulum 2013.
ILUSTRASI-Ketika kurikulum, guru, dan siswa berhasil berinteraksi, maka semuanya sama-sama untung
            Apakah Kurikulum berpengaruh banyak tentang program mengajar guru dan kelangsungan belajar di kelas? Bagaimanakah bentuk-bentuk pengaruhnya? Tentu saja jawaban dari pertanyaan-pertanyaan inilah yang menjenuhkan siswa. Jika ditilik dari sudut pandang siswa dan sisi psikologisnya, siswa yang sudah beradaptasi dan terbiasa dengan 1 Kurikulum, atau sederhananya, dengan 1 proses diajar-belajar tertentu, mereka akan kesusahan dalam beradaptasi dengan lingkungan belajar yang seketika dirombak ulang. Inilah yang mendasari maraknya protes dari kalangan siswa, entah secara langsung ke pihak sekolah atau terang-terangan di sosial media, ketika digantinya Kurikulum KTSP (2006) dengan Kurikulum 2013. Pasalnya, ada tahun ajaran 2013/2014, tepatnya sekitar pertengahan tahun 2013, Kurikulum 2013 diimpelementasikan secara terbatas pada sekolah perintis, yakni pada kelas I dan IV untuk tingkat Sekolah Dasar, kelas VII untuk SMP, dan kelas X untuk jenjang SMA/SMK, sedangkan pada tahun 2014, Kurikulum 2013 sudah diterapkan di Kelas I, II, IV, dan V sedangkan untuk SMP Kelas VII dan VIII dan SMA Kelas X dan XI. Jumlah sekolah yang menjadi sekolah perintis adalah sebanyak 6.326 sekolah tersebar di seluruh provinsi di Indonesia. Hal ini disebabkan Kurikulum 2013 diakui pemerintah sebagai kurikulum yang masih berada dalam ‘masa percobaan’. Tidak diragukan lagi, sekolah-sekolah perintis yang diterapkan kurikulum 2013 kelabakan karena 6 tahun terbiasa dengan kurikul KTSP. Inilah salah satu bentuk pengaruh dari kurikulum dan pergantiannya. Tiba-tiba saja mereka ‘dipaksa’ untuk mengikuti sistem dan menjadi lebih aktif daripada guru serta dijejali dengan pendidikan-pendidikan karakter. Ketika hasillnya tidak sesuai yang diharapkan, kurikulum 2013 tiba-tiba dinyatakan hanya dalam masa percobaan dan sekolah disuruh kembali ke kurikulum 2006. Pergantian kurikulum yang tidak menentu menyebabkan siswa kehilangan pegangannya akan proses belajar yang sesuai dengan mereka. Bisa dibilang pergantian kurikulum dari pemerintah ini menjadi pisau berbilah 2, baik untuk siswa maupun guru.
Bagaimana dengan guru? Tidak hanya siswa yang kewalahan dalam mengikuti kelabilan departemen pendidikan, guru sendiri yang berwajib dalam menjalankan kurikulum juga uring-uringan. Guru yang bertugas menyampaikan mata pelajaran juga perlu beradaptasi dalam kurikulum baru. Logikanya adalah bagaimana siswa paham dengan pelajarannya jika guru tidak mengerti kurikulumnya. Belum lagi setiap tahun ajaran, format penulisan rapot, sistem, serta aspek penilaiannya juga harus disesuaikan. Inilah yang menyebabkan kinerja guru semakin terhambat, dan kelulusan siswalah yang menjadi korbannya. Siswa yang angkatannya menjadi ‘bahan percobaan’ dalam pergantian kurikulum yang labil melalui banyak perubahan format evaluasi yang akan menyulitkan mereka dalam mencari jenjang pendidikan selanjutnya. Guru akan kewalahan menyesuaikan format dan sistem rapot yang berbeda dalam periode tahun pelajaran yang berbeda-beda. Tentunya proses ini juga memperumit jalannya pendaftaran sekolah menengah maupun ke perguruan tinggi.
Evaluasi pendidikan ini dapat disimpulkan bahwa pergantian kurikulum memiliki pengaruh yang besar terhadap siswa, guru, dan proses belajar-mengajar di kelas. Pergantian kurikulum yang tidak menentu menyebabkan pihak sekolah harus melewati tahapan-tahapan perubahan yang tidak menentu juga. Bila dibiarkan seperti ini, maka kapan pendidikan di Indonesia bisa mencapai kata stabil?

7 komentar: